Semenjak dini 2000- an, Indonesia sudah mengambil 2 kedudukan yang tampaknya silih berlawanan dalam diplomasi ekonomi di tingkatan internasional.

Sepanjang periode kedua kepresidenannya, Presiden Joko“ Jokowi” Widodo sudah menginstruksikan Departemen Luar Negara buat memprioritaskan zona ekonomi dalam jadwal diplomasi sepanjang 5 tahun ke depan. Jokowi berharap diplomasi ekonomi bisa dimanfaatkan buat menguatkan kerja sama ekonomi di tingkatan bilateral, regional, serta internasional.

Bagi makalah riset Moch Faisal Karim yang diterbitkan di The Pacific Review, terdapat 2 alibi yang mendasari keputusan buat mendesak diplomasi ekonomi bagaikan prioritas. Awal, keadaan ketidakpastian ekonomi global yang ditekankan oleh perang dagang AS- China yang lagi berlangsung.

Kedua, jadwal kebijakan dalam negara Jokowi semenjak dini sudah difokuskan pada reformasi birokrasi. Riset formal menampilkan, Diplomasi digital penjangkauan diplomasi ekonomi Indonesia memanglah sukses, paling utama dalam perihal membuka pasar baru serta menarik investasi asing ke dalam negara.

Walaupun demikian, banyak pengamat berkomentar, jadwal kebijakan luar negara Jokowi yang berpusat pada ekonomi hingga batasan tertentu sudah kurangi aktivisme Indonesia dalam platform regional serta global.

Berbeda dengan pendekatan diplomasi ekonomi yang disukai oleh Jokowi, di dasar kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono( SBY) dari 2004 sampai 2014, kebijakan luar negara lebih ditunjukan pada keterlibatan yang lebih besar oleh pemerintah dalam bermacam permasalahan global. Di dasar kepemimpinan SBY, Indonesia nampak mau memainkan kedudukan yang lebih signifikan di tingkatan internasional.

Tetapi, kebijakan luar negara SBY dihadapkan oleh ambivalensi menimpa komitmen Indonesia di arena ini, tulis Moch Faisal Karim. Salah satu contoh ambivalensi tersebut merupakan kedudukan Jakarta dalam WTO, spesialnya terpaut dengan Putaran Pembangunan Doha.

Dengan visi buat melambungkan kedudukan Indonesia dalam Putaran Pembangunan Doha, pemerintah SBY berupaya mengoptimalkan akibat yang bisa ditimbulkannya dengan memposisikan dirinya bagaikan pemain kunci. Sokongan Indonesia buat kembalinya negosiasi Doha jadi penanda kunci keberhasilan upaya diplomasi multilateral dalam kerangka WTO.

Memainkan kedudukan sentral global mewajibkan Indonesia buat tampak tidak berubah- ubah dalam retorika serta tindakannya dengan meliberalisasi pasar domestiknya. Terlepas dari wacana tentang liberalisasi pro- pasar, kebijakan perdagangan dalam negeri Indonesia di masa SBY menampilkan ketidakkonsistenan. Di sebagian besar masa jabatannya, Indonesia tampaknya kembali ke proteksionisme.

Kesenjangan kinerja retorika ini bisa berhubungan dengan aksi penyeimbangan Indonesia yang hati- hati: antara jadwal pro- liberalisasi, sehingga Indonesia senantiasa dipercaya oleh warga internasional bagaikan suara untuk negara- negara tumbuh yang menunjang penguatan lembaga- lembaga global; serta antara upaya buat mengakomodasi tuntutan proteksionisme dari pemangku kepentingan ekonomi dalam negeri.

Sepanjang periode awal kepresidenan Jokowi, dari 2014- 2019, terdapat upaya buat kurangi kesenjangan kinerja retorika yang dicatat lewat kebijakan ekonominya, yang berfokus pada program deregulasi. Program ini teruji dalam penerbitan 16 paket ekonomi buat membenarkan kebijakan ekonomi serta perdagangan Indonesia lebih sejalan dengan jadwal liberalisasi yang lebih luas.

Lewat paket- paket ini, pemerintah Jokowi berkomitmen buat kurangi regulasi serta menyederhanakan struktur birokrasi buat tingkatkan energi saing industri. Dalam pertemuan terakhir antara Jokowi serta direktur jenderal WTO Roberto Azevedo pada April 2016, Jokowi menegaskan kembali berartinya program deregulasi Indonesia serta komitmennya terhadap liberalisasi perdagangan.

Tetapi, terlepas dari upaya tersebut, keterlibatan Indonesia dalam WTO terus terhalangi paling utama oleh retorikanya seputar kenaikan liberalisasi perdagangan.

Ini sebab kedudukan ambivalen Indonesia di Putaran Pembangunan Doha tidak cuma berasal dari permintaan dalam negeri, namun pula sebab posisi ambivalennya dalam keterlibatan dengan tata kelola perdagangan multilateral. Bagi pengamatan Moch Faisal Karim, semenjak dimulainya Putaran Pembangunan Doha pada dini 2000- an, Indonesia sudah mengambil 2 kedudukan yang tampaknya silih berlawanan.

Awal, Indonesia merupakan salah satu pendiri G33. Kelompok itu merupakan koalisi negara- negara dalam WTO yang berupaya memperjuangkan kepentingan nasional anggotanya di bidang pertanian dengan mengajukan proposal Produk Spesial( Special Products) serta Mekanisme Proteksi Spesial( Special Safeguard Mechanism). Kelompok itu berlagak defensif sehubungan dengan jadwal liberalisasi dalam Putaran Pembangunan Doha.

Pada dikala yang sama, Indonesia merupakan anggota dari G20. Kelompok itu terdiri dari negara- negara pengekspor produk pertanian yang bertujuan buat meliberalisasi perdagangan global. Anggotanya bertujuan buat menghapus subsidi ekspor serta sokongan dalam negeri, yang mendistorsi perdagangan produk pertanian.

Posisi Indonesia yang tampaknya kontradiktif dalam Putaran Pembangunan Doha mencerminkan struktur ekonomi domestiknya bagaikan negeri pengekspor sekalian pengimpor. Indonesia butuh meliberalisasi pasar global buat produk- produknya, semacam minyak kelapa sawit; namun pada dikala yang sama, negeri ini berupaya buat melindungi para petani yang rentan.

Kedudukan ambivalen ini sudah menghasilkan suara sumbang yang diproyeksikan dalam Putaran Pembangunan Doha: Indonesia menyuarakan kebutuhan buat melindungi petani di negara- negara tumbuh, tetapi pada dikala yang sama ialah anggota kelompok yang menyarankan penghapusan dorongan dalam negeri yang mendistorsi perdagangan.

Para pembuat kebijakan Indonesia tampaknya hendak senantiasa mempertahankan dualisme posisi Indonesia di Putaran Pembangunan Doha, yang bisa mengganggu citra Indonesia bagaikan kekuatan menengah yang menginginkan tanggung jawab yang lebih besar.

Semacam yang ditegaskan Moch Faisal Karim, pemerintah wajib melindungi penyeimbang antara komitmen serta penjangkauan kebijakan luar negerinya, kebijakan perdagangan domestiknya, dan posisi perundingan relatifnya. Dengan melaksanakan perihal itu, pemerintah bisa mempertahankan suara

serta posisi yang kokoh, yang didetetapkan dalam tata kelola perdagangan multilateral.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *